Tanah Liat: Antara Primadona dan Petaka

Apa yang ada dibenak Anda ketika mendengar kata "tanah liat"?. Ya, tanah yang biasa dipakai untuk bahan dasar berbagai kerajinan ini memang namanya tak asing di telinga kita. Menurut Wikipedia tanah liat atau lempung adalah partikel mineral berkerangka dasar silikat yang berdiameter kurang dari 4 mikrometer. Lempung mengandung leburan silika dan atau alumunium yang halus. Di tanah kelahiran saya, sebuah dusun yang bernama Kleben, Kelurahan Sidorejo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta banyak terdapat tanah liat. Karena konon tanah liat di daerah saya mempunyai kualitas yang baik, maka dari jaman dulu jauh sebelum saya lahir sampai sekarang, penambangan tanah liat masih saja terjadi.


Jika belum pernah melihat cara penambangan tanah liat tersebut, mungkin Anda belum bisa membayangkannya saat ini. Jika ada warga yang akan menjual tanah liat, maka disana akan ada colt, sopir colt, beberapa orang yang membawa cangkul, bertugas untuk menggali tanah liat, lalu mengangkut tanah liat tersebut dengan wadhah yang disebut tumbu. Tumbu adalah alat untuk mengangkut, terbuat dari anyaman bambu yang cara membawanya dengan cara dipanggul di kepala. Tanah yang berada dalam tumbu lalu dimuat di dalam colt. Jika area atau volume tanah yang dijual terbilang luas, bisa saja beberapa colt antri menunggu muatan di area tersebut. Kendaraan roda 4 yang disebut colt tersebut juga jangan dibayangkan mulus atau perlengkapan penunjangnya lengkap. Terkadang bentuknya sudah tidak jelas, tidak ada pintunya, apalagi lampu depan, lampu sein dan klakson, tidak tahu kemana rimbanya.


Upah para penambang bisa dibilang cukup besar, dibandingkan upah buruh penggarap sawah orang lain. Rata-rata bisa mendapatkan sekitar Rp 400.000,00 an ribu per minggu. Padahal buruh penggarap sawah baru sekitar Rp 100.000,00 - Rp 200.000,00 an per minggu. Itu sudah upah beberapa tahun yang lalu saat UMR Jogja masih sekitar Rp 700.000,00. Sangat menjanjikan, bukan? Bapak saya juga seorang penambang tanah liat. Ya, pekerjaan berupah besar, resikonya juga besar. Mereka harus tahu teknik menggali dan tetap waspada terhadap perubahan sekitar. Bapak saya berkali-kali bercerita tentang hal tersebut. Kerja tim sangat diperlukan dalam pekerjaan menambang tanah liat ini. Kekompakan juga kesadaran bahwa kecerobohan pribadi bisa saja membahayakan orang lain dalam tim, harus dipegang teguh. Banyak cerita tidak menyenangkan jika hal tersebut tidak diindahkan. Banyak nyawa melayang, terkadang mengakibatkan kecacatan fisik yang fatal, dan lain-lain. Bapak juga mengatakan bahwa jika tanah akan longsor itu ada bunyinya, dan hanya orang-orang yang sudah berpengalaman saja yang mengetahui itu. Maka, pembagian tugas meski tidak formal tetap ada. Ada yang bertugas menggali, mengumpulkan galian, lalu ada pula yang bertugas memperhatikan sekitar. Jika ada hal-hal yang mencurigakan, harus memberi aba-aba pada yang lain untuk lari menjauh.


Hal-hal berkaitan tentang pekerjaan bapak, jika diceritakan mungkin akan menjadi berlembar-lembar halaman. Namun yang pasti, karena Bapak sudah bergelut dengan penambangan tanah liat selama 30an tahun, banyak hal yang bisa saya petik dari cerita beliau. Bagaimana beliau tidak memikirkan besarnya resiko pekerjaan, agar kami anak-anaknya bisa sekolah. Bisa mendapatkan uang saku dan mencukupi kebutuhan kami yang lain, supaya tidak terlalu ketinggalan dengan teman- teman yang lain. Berat iya, perlu fisik yang kuat untuk menjadi penambang seperti bapak. Belum lagi cuaca, panas, hujan, dan kondisi tempat tanah liat digali bermacam-macam.


Saat saya dalam masa-masa mencari jati diri, sempat terbersit tanya. Mengapa bapak memilih bekerja sebagai penambang tanah liat, mengapa bukan pekerjaan lain? Dulu, saya pernah mendengar pendapat orang tentang segala akibat dari penambangan tanah di daerah saya. Rasanya sakit, karena mereka belum merasakan menjadi anak penambang tanah seperti saya. Penambang tanah juga sebuah profesi, sama seperti petani, pedagang, guru, dan yang lainnya. Jika penambangan yang berlebihan dicap sebagai kegiatan yang merusak lingkungan, mungkin ada benarnya. Namun jangan buru-buru menghakimi penambangnya. Penambang ada, karena orang yang butuh jasa mereka juga ada.


Memang dampak penambangan tanah liat yang tidak terkontrol mengakibatkan sumber mata air sumur di sekitar lokasi penambangan menjadi menyusut. Jika memasuki kemarau panjang, air sumur menipis, lama-lama habis. Maka, sebelum air sumur habis biasanya warga berhemat air dan mengambil air di tempat tetangga yang debit air sumurnya lebih banyak. Setelah bertahun-tahun, dampak itu meluas menjadi hampir satu dusun. Oleh karena itu, beberapa waktu yang lalu dicetuskanlah proyek memanfaatkan air sungai, untuk mengairi tandon-tandon air warga. Tandon tersebut bersifat kolektif, 2 KK-3KK memiliki 1 tandon air bersama. Rute pengairan berdasarkan jadwal, ada pula sekelompok warga yang bertugas untuk mengontrol jalannya air. Dan proyek water hydrant tersebut sukses untuk mencukupi kebutuhan air warga selama musim kemarau.


Oh iya, daerah yang memiliki tanah liat bukan merupakan lahan yang cocok untuk pertanian. Karena sifat tanah liat yang sulit menyerap air.

Adapun ciri-ciri atau karakteristik tanah liat adalah:

1. Bersifat liat atau lengket.
Jika basah, sangat lengket, tetapi jika terkena panas akan membentuk gumpalan keras. Pernah saya mengeluarkan tanah dari dalam pot, namun kesulitan. Setelah bisa, bentuknya mengikuti bentuk potnya, hanya sangat keras seperti batu.

2. Bersifat sulit menyerap air

3. Dapat terpecah menjadi butiran-butiran sangat halus saat keadaan kering.
Daerah saya lahir, merupakan sarang debu karena karakteristik tanahnya. Dan sangat biasa, jika ada rumah yang tembok atau lantainya terjadi retakan karena sebagus apapun campuran semennya, akibat karakter tanah liat tidak bisa dihindari.

4. Berwarna hitam terang dan hitam keabu-abuan jika termasuk tanah liat primer, namun jika termasuk tanah liat sekunder maka akan berwarna terang seperti krem, coklat, abu-abu, merah jambu, kuning, kuning muda, kuning kecoklatan, kemerah-merahan, hingga kehitam-hitaman.

5. Merupakan bahan baku untuk membuat kerajinan tangan berupa gerabah atau tembikar.
Di kampung saya, tanah liat paling banyak digunakan untuk campuran membuat batu bata dan genting. Di tetangga dusun, ada daerah penghasil genting yang cukup terkenal. Daerah sekitar Kwagon, Berjo, dan sekitarnya termasuk Klaci, Klangkapan, menggantungkan hidupnya dari tanah dan tanah liat.


Sedang untuk keperluan kerajinan, tanah liat di daerah saya biasanya dibawa ke Bantul. Di sana akan dibuat berbagai kerajinan gerabah dan tembikar dengan bermacam bentuk, ukuran, warna. Sampai kapan penambangan berlangsung, jawabannya adalah selama masih banyak yang membutuhkan, pasti masih akan terus berlanjut. Saya tidak tahu apakah ada kebijakan pemerintah berkaitan tentang penambangan tersebut, khususnya perundang-undangannya. Sejauh saya tahu, jika lahan yang digali adalah milik perorangan, akan sulit mencegah hal tersebut. Kecuali lahan tersebut milik kas desa atau semacamnya.

Baru-baru ini yang jelas terjadi: wacana akan ada perumahan Jogja Godean Hills di dekat daerah saya. Sudah diratakan, eh ternyata dengar-dengar dalam hal perijinan atau apa bermasalah. Malah sekarang menjadi obyek wisata baru bernama "Bukit Pandawa". Karena disana terdapat 5 patung hewan ukuran besar berjajar. Karena sedang hits, maka banyak sekali pengunjung yang datang ketempat ini di sore hari untuk selfie. Lonjakan pengunjung terjadi pada waktu weekend dan liburan.


Beberapa waktu lalu, saat terjadi badai Cempaka yang mengakibatkan curah hujan tinggi disertai angin kencang sempat membuat panik warga. Rasa takut jika terjadi tanah longsor, banjir, dan lain-lain pun tidak bisa dihindari. Tanah liat yang tidak lagi banyak ditopang oleh akar-akar tanaman menjadi penyebabnya. Perlu gerakan massal yang berkesinambungan untuk memulihkan lingkungan yang telah lama tereksploitasi. Seperti 2 keping mata uang. Di satu sisi tanah liat menjadi primadona yang dielu-elukan, tetapi di sisi yang lain jika penambangan tidak disertai pembenahan dalam penghijauan dan lain-lain, bukan tidak mungkin beberapa tahun lagi bisa menggali petaka yang entah kapan datangnya. Ini menjadi PR besar untuk kita bersama.




Sumber:
Foto: Pixabay
https://www.google.co.id/amp/s/ilmugeografi.com/ilmu-bumi/tanah/tanah-liat/amp

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Cernak "Sahabat Baru Nayla" karya Utami Nilasari

Koleksi Nara: Enjoy Adalah Kunci

Review Cerpen Teenlit "Buku Diary Biru" karya Utami Nilasari