Warisan Berbalut Main di Sawah

Siapa yang belum pernah melihat sawah? Saya beruntung lahir dan besar di daerah yang tidak jauh dari areal persawahan. Sekarangpun tinggal di wilayah berketinggian 600 mdpl, yang mempunyai tekstur tanah subur. Beberapa waktu yang lalu bapak dan ibu mertua sedang panen padi. Meski tidak asing dengan sawah, saya tidak bisa membantu banyak, karena alergi turunan dari nenek saya. Saya akan gatal-gatal terkena semacam "lugut" atau rambut yang terdapat pada bulir padi. Jadi saya hanya bisa membantu kalau urusan angkut-angkut saja. Kalau memetik padi, menjemur, atau yang bersentuhan langsung, jelas saya tidak bisa.


Sebenarnya anak saya sudah lama ingin ke sawah, namun memang belum kami (saya dan suami) ijinkan. Disamping jarak rumah dan sawah agak jauh, pertimbangan anak yang belum begitu mengerti merupakan alasannya (apakah sesuatu itu membahayakan atau tidak, hewan yang bisa dipegang dan yang tidak). Sekarang umur si kecil sudah 2 tahun 9 bulan. Kami menganggap sudah waktunya ia belajar mengenal sawah. Maka, setelah bapak dan ibu mertua selesai memetik padi, kami membawa anak untuk turun ke sawah. Cuaca sore sudah tidak terik. Jadi kami bertiga tidak terlalu kepanasan. Ketika berjalan di pematang, lalu menemukan sebuah "pancuran" air dan sebuah ceruk yang mirip kolam kecil di tengah bagian sawah. Disitulah kami membiarkan anak kami bermain. Ia berjalan dalam lumpur yang liat, berkali-kali jatuh terjerembab, membuat celana dan kaosnya kotor belepotan. Tetapi kelihatan sekali kalau si kecil antusias dan riang.


Saat itu tetangga yang membantu memanen padi bertanya: mengapa anak dibiarkan jatuh, kotor, dan sebagainya? Kan kasihan, kata mereka. Namun kami menjawab dengan santai: justru inilah yang kami inginkan. Semua yang kami lakukan adalah supaya anak kami dapat belajar dalam perkenalan pertamanya dengan sawah. Banyak hal yang ingin kami ajarkan padanya, yaitu sikap-sikap seperti:



1. Mencintai tanah, air, sawah, dan segala makhluk ciptaan Tuhan. Baik yang berupa benda mati atau hidup

Dengan mencintai ciptaan Tuhan, kami berharap anak semakin arif. Bagaimana mengolah atau menggunakan segala ciptaan-Nya tersebut. Termasuk mau memelihara kelangsungan hidup dan kelestarian makhluk hidup makhluk disekitarnya. Saya juga berharap rasa belas kasihan dan peduli anak dapat tumbuh. Tidak hanya pada sesama manusia, namun juga hewan, tumbuhan, dan benda mati lainnya. Meski bermula dari hal sederhana seperti: tidak memetik daun dan bunga, atau menangkap serangga tanpa alasan yang jelas. Alasan jelas misalnya untuk diolah menjadi sayur, lauk, atau semacamnya baru diperbolehkan.

2. Mau belajar mengenal hewan dalam habitat aslinya (dengan cara yang menyenangkan)

Areal persawahan merupakan rumah bagi hewan-hewan seperti: katak, ular, belalang, ulat, ikan kecil, dan lain-lain. Pengenalan akan hewan, cara hidup, dan tempat hidupnya, menjadi pelajaran yang menyenangkan untuk anak. Apalagi si kecil dapat melihat, menyentuh, mengamati secara langsung. Anak dapat bercerita tentang pengalamannya di sawah, apa yang dijumpai disana, juga segala hal berkaitan dengan profesi nenek dan kakeknya.

3. Mau mempelajari cara bercocok-tanam, tingkah laku, dan kebiasaan turun-temurun yang diwariskan oleh nenek moyang

Proses belajar langsung, dengan para pelaku (nenek, kakek, tetangga) memungkinkan interaksi yang lebih intens. Banyak keutamaan yang dapat diserap dari kebiasaan nenek moyang. Hal tersebut dapat kita gali, dan dapat diteruskan ke anak cucu, dengan penjelasan yang masuk akal. Sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang keliru. Bukankah hal baik patut untuk dilanjutkan?

4. Mau menghargai kerja-keras orang lain dan sadar akan proses

Terkadang kita lupa, sesuatu bisa tersedia karena ada orang yang mengusahakan. Tanpa kerja-keras petani, tidak akan ada beras untuk dimakan. Dan proses mulai dari membuat benih, menanam padi di sawah, sampai mengolah "gabah" atau padi yang masih belum digiling, hingga dapat dimakan, cukup panjang. Anak harus menyadari hal itu, sehingga tidak semena-mena terhadap orang lain dan mau menghargai kerja keras mereka. Tumbuhnya kesadaran akan pentingnya kerja-keras dan berproses, kelak berguna untuk masa depan anak juga tentunya.


Nah, dengan bermain,ternyata anak juga dapat belajar banyak hal, bukan? Janganlah membatasi proses belajar si kecil, agar apa yang mereka dapatkan menjadi maksimal. Tidak harus menggunakan media yang mahal dan pabrikan, karena sekeliling kita "kaya" media pembelajaran. Selamat berpetualang bersama anak!

Komentar

  1. Setuju banget, dengan bermain dialam ada banyak hal yang bisa dipelajari untuk anak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang kita terpaku dengan apa-apa yang dibeli, padahal meski gratispun bisa dipakai sebagai sarana belajar. Hehehe, mbak Jeanette pasti sudah banyak membawa anak belajar dengan mengajak mereka jalan-jalan ke wisata-wisata alam gitu ya?

      Hapus
  2. Saya kecilnya dulu mainnya di sawah, meskipun dilarang oleh bapak dan ibu tetap saja kabur main ke sawah bareng temen penggembala lainnya. Nyari sisa sisa panen bawang merah yang paling saya suka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhh...seru tuh pengalamannya mbak! Kapan nih ditulis di blog? Hihihi. Saya malah belum pernah nyari sisa panen bawang merah kaya mbak Lisa. Pasti menyenangkan.

      Hapus
  3. Mbak saya enggak pernah main ke sawah. Keluarga besar kedua orang tua guru dan pegawai..Jadi enggak ada yang punya sawah.
    Kalau anak-anak main di sawah pas ada kegiatan field trip sekolah. Di Jakarta mau main ke sawah juga enggak ada lahi hiks!
    Senengnya ya..putranya bisa mengenal alam dengan bermain langsung di sawah Mbak..pengalaman yang enggak semua orang bisa rasakan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Iya mbak Dian, masih beruntung bisa nyemplung sawah. Tapi 10 tahun, 20 tahun kedepan, apa ya masih bisa begitu? Bisa aja hanya tinggal museum sawah. Kalau yang masih punya sawah sudah merasa tidak terlalu bergantung pada hasil sawah tsb. Tapi semoga tidak begitu ya mbak!

      Hapus
  4. Whuaa seru banget ya bisa main ke sawah langsung. Itulah mba saya juga berniat masukin anak sekolah di sekolah alam biar bisa belajar langsung, hihii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seruuu mbak Dwi Arum... Setidaknya saya irit menerangkan karena anak bisa melihat sendiri. Hihihi

      Hapus
    2. Saya juga suka konsep sekolah alam gitu mbak Dwi Arum... Semoga putra/putrinya makin berkembang maksimal dg konsep sklh alam! Ditempat saya sekolah terdekat adl sekolah pertanian organik, jadi cocok deh!

      Hapus
  5. Saya juga sukaa sekai bermain di sawah. Dulu waktu masih kecil, suka main di sawah yang ada di depan rumah nenek. Sehingga saya banyak tau, hewan apa aja yang ada di sawah. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhh, sudah biasa main ke sawah juga ya mbak Nurul? Hihihi. Sekarang ke sawah pas sudah punya buntut, rasanya lain. Ingin anak saya juga merasakan bagaimana asyiknya bermain di sawah, supaya kelak bisa mempertahankan areal persawahan juga.

      Hapus
  6. Kebetulan belakang rumah saya juga ada sawahnya mbak. Gak kotor gak belajar dong ya. Anak2 suka banget diajakin ke sawah. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhh, seru dong mbak Eni... Iya, ga kotor ga belajar. Kalau kita selalu bilang ga boleh, kapan anak kita bisa maksimal belajar ya mbak?

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Cernak "Sahabat Baru Nayla" karya Utami Nilasari

Review Cerpen Teenlit "Buku Diary Biru" karya Utami Nilasari

Koleksi Nara: Enjoy Adalah Kunci